PANGKALPINANG, UNGGAHAN.ID – Pulau Bangka merupakan pulau yang memiliki kekayaan alam yang berlimpah, sumber daya alam itu termasuk bahan galian (tambang) contohnya timah yang merupakan salah satu sumber daya alam yang tak bisa diperbaharui. Sehingga butuh pengelolaan yang optimal, efisien dan transparan serta berkelanjutan yang sejatinya harus dapat memperhatikan keseimbangan lingkungan sehingga dapat memberikan manfaat yang besar bagi kesejahteraan masyarakat di masa yang akan datang. Pengelolaan tambang sampai saat ini terlihat lebih mengedepankan keuntungan ekonomis dibandingkan melihat dari aspek sosiologis dan lingkungan hidup. Dengan kekayaan alam yang demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa masyarakat yang ada di Pulau Bangka akan banyak yang menjadi kaya, namun sangat disayangkan banyak dari penambangan timah tersebut tidak memiliki izin.
Sejak Undang-undang No.22/1999 tentang Pemerintah Daerah (otonomi daerah) dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.146/MPP/Kep/4/1999 mengenai pencabutan timah sebagai komoditas strategis dan sejak SK Bupati Bangka No.6/2001 tentang pertambangan diterbitkan, pertambangan timah inkonvensional (TI) menjarah daratan Pulau Bangka. Ironisnya, otonomi daerah membuat pertambangan di Pulau Bangka seakan terkesan tidak terkontrol, karena unsur politis antara pengusaha tambang dengan kepala daerah dan pejabat daerah. Juga pengawasan pengelolaan lingkungan dari aktivitas tambang tersebut terbilang lemah. Fungsi dari pengawasan Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) bisa dibilang tidak tegas. Dan kurangnya koordinasi antara sektor tersebut.
Pertambangan ilegal memberikan dampak negatif seperti kerusakan lingkungan, perubahan budaya masyarakat dan Kesehatan. Bahkan jika terus seperti ini, penambang illegal akan berbuat “suka-suka” dan membiasakan hal tersebut. Seharusnya masyarakat dapat memahami AMDAL dan pemerintah pun tidak boleh terkesan lepas tanggung jawab akan hal itu. Karena pemerintahlah yang menjadi eksekutor utama yang mengawasi, memantau dan menilai pengelolaan lingkungan yang dilakukan oleh pelaku tambang untuk mengurangi dampak negatif yang diakibatkan oleh penambangan timah yang ada di Pulau Bangka.
Ironisnya, pemerintah sendiri terkesan tak tegas untuk memantau, menilai dan menindak penambangan ilegal tersebut. Jika dirasa tegas, mengapa sampai saat ini masih marak tambang ilegal yang ada di Pulau Bangka?
Padahal kegiatan penambangan yang dilakukan tanpa izin (ilegal) dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana tertuang pada ketentuan pidana Pasal 158 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Penambangan Mineral dan Batubara, menyatakan bahwa: “Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa Izin Usaha Penambangan, Izin Penambangan Rakyat, Izin Usaha Penambangan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1) atau ayat (5) dipidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00- (sepuluh miliar rupiah).
Berdasarkan hal ini, pemerintah harusnya sudah melakukan upaya untuk menangani hal tersebut namun belum adanya regulasi dan kebijakan pemerintah baik di tingkat Provinsi ataupun Kabupaten dalam pemberian izin pengelolaan sumber daya alam di daerah terutama dalam hal usaha pertambangan proses penggalian tanah yang umum digunakan dalam kegiatan penambangan timah ilegal, telah memberi dampak yang sangat besar terhadap lahan yang berada di sekitar lokasi penambangan yang ada di Pulau Bangka. Selain itu Kesadaran hukum sebagai buah dari budaya hukum dapat menimbulkan keyakinan seseorang bahwa menaati hukum bukan hanya karena takut disebabkan sanksi, akan tetapi didasarkan oleh keyakinan bahwa apabila ia melanggar hukum, maka ia merasakan adanya pelanggaran terhadap hak-hak manusia lain.
Salah satu amanat yang terkandung dalam UUD 1945 adalah pemerintah dan seluruh unsur masyarakat wajib melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia tetap menjadi sumber daya dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup lainnya.
Kerusakan dan pencemaran lingkungan akibat perbuatan manusia sebenarnya merampas, menafikan, dan menghilangkan hak generasi mendatang untuk menikmati lingkungan yang bersih dan sehat, seperti merusak fungsi ekologi dan kesehatan ekosistem dalam banyak cara. Peristiwa ini membuktikan bahwa perlu adanya penegakan hukum atas pertambangan timah ilegal yang harusnya menjadi hal yang sangat penting untuk lebih diperhatikan.
Keberadaan tambang tersebut sebenarnya mempunyai dampak positif secara ekonomi, yaitu menciptakan lapangan pekerjaan yang kemudian sangat berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi masyarakat. Akan tetapi, dalam perkembangannya kegiatan itu juga banyak menimbulkan beberapa dampak negatif di antaranya yaitu terjadinya kerusakan lingkungan sebagai akibat dari pengelolaan bahan galian yang digunakan akan merusak ekosistem air. Permasalahan tersebut, yang bukan merupakan kejahatan konvensional sehingga sulit terdeteksi karena modus operandi-nya yang sangat kompleks dan melibatkan orang-orang yang memiliki pengaruh dalam jabatan penting diharapkan dapat berperan secara efektif. Kepentingan ekonomi dan politik sangat besar peranannya dalam kegiatan penambangan timah tanpa izin dimana terdapat pihak-pihak yang meraih keuntungan penambangan timah ilegal, baik masyarakat penambangan dengan pemodal, pemodal dengan aparat penegak hukum, dan pemerintah yang membuat larangan atau kebijakan. Hal ini tentu saja berdampak pada praktek praktek eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan oleh masyarakat atau kelompok individu yang berkepentingan. Pihak yang meraih keuntungan tidak hanya diperoleh oleh kelompok penambang, akan tetapi juga terdapat pihak yang memiliki kekuatan untuk melindungi pelaku. Pertambangan timah tanpa izin sudah jelas merupakan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Masyarakat yang terkena dampak berhak untuk mendapatkan hidup yang sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatann sebagaimana yang telah tercantum dalam Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945.
Penegakan hukum tidak dapat dilepaskan dari fundamental hukumnya sendiri, yaitu tercapainya keadilan dan kemanfaatan sosial. Keadilan salah satunya dapat terwujud apabila terhadap pelaku diberi ganjaran yang setimpal dengan perbuatannya (prinsip individualisasi pidana). Dengan demikian, bukan pidana yang sama terhadap perbuatan yang sama namun tindakan hukum apa yang tepat dijatuhkan kepada pelaku kejahatan berdasarkan motif dilakukannya perbuatan tersebut, keadaan lingkungan, maupun karakteristik pelaku sendiri.
Maka dalam hal ini, Aparat penegak hukum (Kepolisian) dalam Penegakan hukum tindak pidana pertambangan ilegal tersebut harus langsung mengambil tindakan sehingga problematika yang terjadi dapat langsung terselesaikan dan pihak kepolisian juga harus mengarahkan masyarakat maupun pemilik lahan yang memiliki usaha tambang untuk mengurus surat perizinan tambang yang legal.
Dengan adanya izin pertambangan, maka seyogyanya Pemerintah Daerah dapat mengatur dan menertibkan usaha pertambangan, karena perlu mengutamakan faktor lingkungan dan pembangunan berkelanjutan atau lebih tepatnya menciptakan usaha pertambangan yang berwawasan lingkungan. Dengan demikian, akan mengurangi dampak usaha penambangan terhadap lingkungan.
Untuk mewujudkan hal ini, perlu ditunjang oleh peningkatan pengawasan atau pengontrolan dari pemerintah terhadap pelaku usaha penambangan. Sehingga dengan adanya Peraturan Perundang-undangan Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dapat melaksanakan penanggulangan dan pencegahan akibat penambangan tanpa izin mengingat pengelolaan lingkungan hidup yang sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.